Senin, 13 April 2015

BAGAIMANA PERANAN BAHASA DAERAH DALAM PERKEMBANGAN B.I?

1.BAGAIMANA PERANAN BAHASA DAERAH DALAM PERKEMBANGAN B.I?
Peran Bahasa Daerah dalam Persatuan Bangsa
Persatuan bangsa Indonesia terbentuk bukan dari keseragaman, tetapi terbentuk dari keanekaragaman. Semboyan Bhineka Tunggal Ika selalu melekat di hati setiap warga negara Indonesia, karena dengan kebhinekaan inilah bangsa Indonesia ada.
Bhineka Tunggal Ika tidak hanya menyangkut suku-suku, ras-ras, dan agama-agama saja, tetapi juga mencakup bahasa, karena pada hakekatnya bahasa melekat pada diri manusia. Sementara manusia itu sendiri merupakan pelaku kebudayaan.

Apa jadinya apabila bangsa Indonesia ini terbentuk dari keseragaman budaya, adat-istiadat, agama, bahasa, dan keseragaman yang lain. Ada pendapat menarik dari Cuellar (1996: 72) yang dikutip oleh Hidayat (2006: 40), yaitu setiap usaha yang memaksakan keseragaman atas kebhinekaan ini merupakan tanda-tanda awal kematian. Pernyataan ini memang terdengar ekstrim, tetapi bukannya tanpa alasan, karena pada dasarnya Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda satu sama lain. Maka, apa jadinya ketika dunia ini semuanya sama, tidak ada perbedaan dan tentunya tidak ada warna warni kehidupan.

Lebih lanjut dikatakan bahwa khusus dalam hubungannya dengan keberagaman bahasa dikatakan bahwa kebhinekaan bahasa (linguistic diversity) merupakan aset kemanusiaan yang tak ternilai harganya, dan hilangnya sebuah bahasa merupakan pemiskinan (impoverishment) akan sumber pengetahuan dan pikiran masyarakatnya.

Hidayat (2006: 40-41) mencontohkan bahwa khasiat buah mengkudu (Jw. Pace) sebagai obat berbagai penyakit sebenarnya jauh-jauh hari sudah diketahui oleh nenek moyang orang Jawa yang seringkali menganjurkan anak cucunya untuk mengalungkannya sewaktu terserang sakit gondong.
Hal ini sebagai bukti, bahwasanya bahasa derah ternyata mempunyai peran dan fungsi yang besar terhadap keberlangsungan suatu negara. Benar adanya apabila bahasa daerah hilang berarti kearifan lokal yang ada pun ikut hilang. Misalnya, mungkin kita tidak akan pernah tahu kalau ada dongeng tentang Sangkuriang, Malin Kundang, Joko Tarub, Legenda Roro Jonggrang, Tangkuban Perahu, dan lain-lain kalau tidak ada bahasa lokal yang berperan di sana. Mungkin kita juga tidak tahu kalau di dalam setiap cerita itu menyimpan nilai-nilai kearifan lokal yang tidak sedikit jumlahnya.

Berkat bahasa daerah – yang kemudian dialihbahasakan ke dalam bahasa nasional – itulah kita bisa tahu tentang berbagai legenda, mite, dongeng, dan berbagai cerita masa lalu yang lain. Kita tidak hanya sekadar tahu, tapi juga diajarkan tentang nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Apa yang boleh diperbuat dan apa yang tidak boleh diperbuat semua ada di dalam cerita-cerita tersebut. Pada akhirnya kita mengerti arti dari nilai yang baik dan nilai yang tidak baik.

Ambil contoh lagi misalnya bahasa Jawa. Di dalam bahasa Jawa terdapat tingkatan-tingkatan mulai dari yang rendah (ngoko), tengah (krama madya), sampai ke tingkatan tinggi (krama inggil). Tingkatan-tingkatan tersebut bukannya tanpa makna, tetapi mengandung nilai-nilai (adat sopan santun) yang langsung teraplikasi di dalam tingkah laku kehidupan pengguna bahasa tersebut (khususnya orang Jawa). Tingkatan-tingkatan tersebut kemungkinan berbeda dibandingkan dengan
bahasa yang lain. Karena memang setiap bahasa mempunyai kekhasannya masing-masing.
Perbedaan yang demikian itu, bukannya kemudian dipertentangkan. Akan tetapi, justru ini menjadi bahan contoh bagi bahasa yang lain bahwasanya ada bahasa yang lain yang berbeda dengan bahasa daerah yang dimiliki. Di sinilah kemudian sikap saling menghargai terbentuk. Antarpemilik bahasa daerah bisa saling mengetahui bahasa di antara keduanya, sehingga timbul rasa menghargai sekaligus timbul rasa memiliki sebagai suatu kekayaan kebudayaan Indonesia.

Kita tahu bahwa, fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi. Akan tetapi, tidak hanya sebatas alat komunikasi, bahasa pun mempunyai fungsi yang lebih khusus lagi. Para ahli mencoba menerangkan berbagai macam fungsi khusus dari bahasa tersebut. Seperti Roman Jakobson yang membagi fungsi bahasa menjadi enam fungsi. Begitu juga dengan Mary Finocchiaro yang membagi fungsi bahasa menjadi enam fungsi.
Berbeda dengan kedua linguis tersebut, P. W. J. Nababan (dalam Hidayat 2006: 29), seorang linguis Indonesia, membagi fungsi bahasa sebagai komunikasi dalam kaitannya dengan masyarakat dan pendidikan menjadi empat fungsi, yaitu 1) fungsi kebudayaan, 2) fungsi kemasyarakatan, 3) fungsi perorangan, dan 4) fungsi pendidikan.

Kita ambil saja dua fungsi yang dipaparkan oleh Nababan tersebut, yaitu fungsi kebudayaan dan fungsi kemasyarakatan. Fungsi kebudayaan dari bahasa adalah sebagai sarana perkembangan kebudayaan, jalur penerus kebudayaan, dan inventaris ciri-ciri kebudayaan. Sedangkan fungsi kemasyarakatan bahasa menunjukkan peranan khusus suatu bahasa dalam kehidupan masyarakat. Nababan mengklasifikasikan fungsi kemasyarakatan bahasa ke dalam dua bagian, yaitu berdasarkan ruang lingkup dan berdasarkan bidang pemakaian.

Yang pertama, mengandung “bahasa nasional” dan “bahasa kelompok”. Bahasa nasional berfungsi sebagai lambang kebanggaan kebangsaan, lambang identitas bangsa, alat penyatuan berbagai suku bangsa dengan berbagai latar belakang sosial budaya dan bahasa, dan sebagai alat perhubungan antardaerah dan antarbudaya. Yang kedua, bahasa kelompok adalah bahasa yang digunakan oleh kelompok yang lebih kecil dari suatu bangsa, seperti suku bangsa atau suatu daerah subsuku, sebagai lambang identitas kelompok dan alat pelaksanaan kebudayaan kelompok itu.
Tampak jelas dalam pemaparan Nababan tersebut bahwasanya, fungsi bahasa sangat penting sekali khususnya dilihat dari fungsi kebudayaan dan fungsi kemasyarakatan di samping juga fungsi yang lain. Penting bagi suatu negara memiliki bahasa nasional yang berfungsi sebagai alat pemersatu berbagai suku bangsa yang berlatar belakang berbeda-beda. Begitu pula dengan bahasa daerah berfungsi sangat penting bagi kelangsungan kehidupan suatu kebudayaan daerah tertentu.
Revitalisasi Bahasa Daerah

Mengapa kita perlu memvitalkan kembali bahasa daerah di saat-saat sekarang ini. Di tengah arus globalisasi yang mendunia ini, perlu secepatnya kita berbenah diri sebelum terlambat. Dikarenakan kalau kita lambat dalam menghadapinya, maka yang terjadi justru kita terbawa arus globalisasi tersebut. Maka dari itu, dari sisi bahasa perlu kiranya kita menguatkan kembali peran dari bahasa lokal atau bahasa daerah dalam menghadapi arus globalisasi tersebut.

Contoh nyata saja yang sekarang kita alami, yaitu begitu derasnya arus Bahasa Inggris masuk ke dalam setiap sendi kehidupan kita. Sadar atau tidak sadar, setiap yang kita lihat, dengar, rasakan, hampir sebagian besar berbahasa Inggris selain juga bahasa yang lain – tetapi bahasa Inggrislah yang sekarang sedang menguasai dunia. Mulai dari barang-barang yang kecil seperti pena, pensil, sandal, sampai ke barang-barang yang besar seperti TV, Komputer, Mobil, dan lain-lain hampir semuanya terpampang bahasa Inggris. Bahkan ada juga yang diproduksi oleh pabrik Indonesia, tetapi menggunakan Bahasa Inggris baik di dalam kemasannya ataupun dalam hal pemasarannya.
Dilihat dari sisi pendidikan pun sama, hampir di setiap sekolah terdapat pelajaran bahasa Inggrisnya, bahkan tingkatan TK-SD pun sudah mengenal Bahasa Inggris. Lantas apakah bahasa daerah atau bahkan bahasa nasional pun bisa berlaku demikian. Belum tentu.
Kita bisa tengok di dalam pendidikan kita, bahasa daerah hanya sebatas pelajaran muatan lokal yang kadang merupakan pelajaran yang kurang disukai, kalah dengan pelajaran matematika, IPA, atau Bahasa Indonesia. Bahkan mungkin juga dalam menerangkan pelajaran muatan lokal tersebut menggunakan bahasa Indonesia. Apabila memang demikian, perlu sekiranya kita rubah mulai dari sekarang.

Oleh karena itu, diperlukan usaha yang keras dari semua pihak dalam memvitalkan kembali peran dari bahasa daerah sebagai bahasa asli daerah setempat. Tanggung jawab ini tidak bisa hanya diserahkan begitu saja kepada pemerintah lewat dewan bahasa atau apapun. Akan tetapi, semua pihak mulai dari lingkungan keluarga sampai dengan lingkungan daerah setempat untuk bisa mempertahankan kearifan lokal berupa bahasa daerah tersebut.
Seperti yang diungkapkan oleh Hidayat (2006: 43) salah satu upayanya adalah memberi keleluasan dalam mengembangkan program pengembangan bahasa daerahnya. Di masa-masa mendatang program pengajaran bahasa daerah di sekolah-sekolah tidak hanya sebatas memfungsikan bahasa daerah sebagai bahasa perantara lalu digantikan dengan bahasa Indonesia (substractive bilingual), tetapi harus mencanangkan pendidikan untuk mencetak anak didik yang di samping menguasai bahasa nasional juga mampu menggunakan bahasa ibunya dengan baik (additive bilingual).
Tentunya ini hanya sebagian kecil saja usaha yang perlu dilakukan dalam memvitalkan kembali peran bahasa daerah. Masih terbuka luas kesempatan dan cara yang lain agar bahasa daerah bisa menjadi kekuatan bagi bangsa Indonesia, khususnya bagi daerah yang bersangkutan.
Penutup

Manusia di manapun hidup pasti membutuhkan komunikasi. Oleh karena itu, komunikasi menjadi barang penting bagi kelangsungan hidup manusia itu sendiri. Dalam hal ini bahasa sebagai alat dalam berkomunkasi menjadi sangat penting perannya di dalam menghadapi permasalahan yang ada di tanah air ini. Berbicara tidaklah cukup untuk megatasi permasalahan tersebut. Perlu ada suatu tindakan nyata di dalam kehidupan sehari-hari demi persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia.
Asef F. Amani
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia FBS UNY

Catatan 1 Diambil dari buku Sosiolinguistik, yang ditulis oleh I Dewa Putu Wijana dan Muhammad Rohmadi, Yogyakarta: Putaka Pelajar, 2006. Cet. Ke-1, h. 32
Sumber Bacaan
Hidayat, Asep Ahmad. 2006. Filsafat Bahasa Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna, dan Tanda. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Soeparno. 2002. Dasar-dasar Linguistik Umum. Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. 2006. Sosiolinguistik Kajian Teori dan Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar